Rabu, 15 Mei 2013

Islam di Spanyol

Kisah Hidup Seorang Muslim Di Bawah Penjajahan Penguasa Kristen Spanyol






Muslimdaily.net - Sebuah nostalgia. Andalusia, suatu daerah di Spanyol pernah cemerlang gemerlapan disinari oleh nur Islam. Pada saat itu benar-benar tumbuh nilai-nilai budaya dan peradaban dunia insani. Andalusia menjadi pusat sumber segala sumber ilmu pengetahuan. Filosof dan ilmuwan silih berganti bermunculan mewarnai kesegaran nafas Islami. Ilmu, budaya, dan iman tumbuh dalam simbiosa mutualistis (saling menghidupi dan saling mengisi). Semua itu tumbuh segar dari keaslian akar Islam yang menyinari Andalusia yang tercinta ini.
Akan tetapi apa lacur? Entah bagaimana ceritanya, umat Islam berangsur-angsur meninggalkan prinsip-prinsip yang digariskan oleh ketentuan Islam, dan mulai pudarlah sinar Islam sampai titik kulminasi yang paling kritis. Hari demi hari umat Islam mulai meninggalkan Andalusia dan tertinggal menjadi bulan-bulanan kebiadaban kaum kristiani yang ada di Spanyol.



Situasi kehidupan umat Islam yang tertinggal makin hari makin tragis, dikoyak-koyak oleh kekejaman kaum kristiani. Penguasa Kristen di Spanyol muncul dalalm kekejaman dan kebengisan sepeti kesetanan. Setiap muslim mulai orok sampai tua bangka dikejar, diteror, disiksa, dan dibunuh dengan semena-mena tiada taranya. Diantara umat Islam yang dikepung oleh kebengisan penguasa Kristen itu adalah satu rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu dan anaknya laki-laki yang masih kecil. Si anak itu, yang sekarang sudah menjadi ulama besar, sempat mengungkapkan tragedi yang dialami oleh keluarga sebagai berikut :
Saat itu aku masih kecil, dan masuk sekolah Kristen. Tanpa kusadari, apa yang kuperoleh dari sekolah kuceritakan kepada ayahku. Banyak ayat dari kitab Injil aku hafal. Dengan bangga hal itu pun aku laporkan kepada ayah. Setelah mendengar ini, tiba-tiba kulihat wajah ayahku menjadi pucat dan sekujur badannya gemetar. Secepatnya ia meninggalkan aku menuju sebuah kamar pribadinya yang terletak paling ujung. Ayah melarang keras siapa saja memasuki kamar pribadinya itu. Mendekati saja tidak boleh. Termasuk ibu dan aku sendiri. Jadi aku sendiri tidak tahu apa yang diperbuat ayah dikamarnya itu. Agak lama ia membenamkan dirinya di dalam kamar. Beberapa jam kemudian setelah keluar dari kamarnya, kulihat kedua matanya merah seperti menangis sedu. Terhadap pertanyaankau, ia selalu mengelak. Sejak saat itu, ia suka memandang aku agak lama dengan wajah sayu yang penuh duka, sambil menggerakkan bibirnya seperti membaca sesuatu dengan suara halus. Kalau aku mendekati untuk mendengar apa yang ia baca, secepatnya ia berpaling dan pergi tanpa mengucap sedikit pun. Aku membaca sesuatu yang aneh di raut wajah ayahku.
Setiap pagi saat aku hendak berangkat ke sekolah, ibuku seperti berat melepaskan aku. Wajahnya begitu murung, dan sambil mencucurkan air mata dipeluknya aku dan dicium berkali-kali.
Baru saja aku dilepas dan kakiku melangkah kecil, ditariknya kembali dan dihujani peluk-cium lagi, sampai cucuran air matanya yang hangat membasahi mukaku. Aneh bin ajaib. Aku heran tak habis-habisnya, dan tidak faham latar belakang semua itu. Kalau aku pulang dr sekolah, ibuku menyambutku dengan penuh mesra dan kerinduan, seolah-olah puluan tahun berpisah dengan anaknya. Setiap otakku dipenuhi oleh teka-teki yang sukar dijawab.
Ditengah-tengah kelesuan keluarga, sejak itu sering kali kulihat kedua orang tua suka duduk berduaan seperti menghindari aku. Mereka suka berbicara perlahan dan berbisik, tapi bukan dengan bahasa spanyol. Aku menjadi bingung dan resah. Bahasa mereka tak kukenal. Setiap kali aku mendekati, mereka alihkan pembicaraannya dengan bahasa Spanyol. Dalam hatiku timbul prasangka dan dugaan, jangan-jangan aku ini hanya anak angkat dan bukan anak mereka sendiri. Hatiku kesal, wajahku murung tak pernah cerah. Aku suka menyendiri di suatu pojok, dan sering pula mengangis sendirian memikirkan semua teka-teki yang menyelimuti keluargaku ini. Semua itu menimbulkan stigma (vlek) dalam hatiku. Mungkin itu disebut ‘stress’ ataukah neurosa? Entahlah yang jelas, sejak itu terasa ada kelainan dalam diriku, yang berbeda dari anak-anak sebaya denganku. Aku lebih suka menyendiri, tidak ikut main-main dengan anak lainnya. Aku suka duduk merenung sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku ingin rasanya segera bisa menjawab teka-teki yang menyelimuti keluargaku. Pernah kualami, tiba-tiba saja pak guru menegur dan menggiring aku ke gereja. Aku jadi bengong.
Pada suatu hari ibuku melahrkan seorang bayi. Aku lari-lari memberitakan kepada ayah. Ayahku tidak tampak gembira, walau yang lahir itu seorang bayi laki-laki. Bahkan wajahnya terlihat sedih. Ketika ia melangkah hendak mengabari rahib tentang kelahiran anaknya itu. Ia kembali membawa rahib ke rumah dengan wajah merunduk ke bawah. Wajahnya diliputi putus asa penyesalan.
Kian hari kulihat wajahnya makin muram dan sorot matanya makin redup melayu. Hatiku makin tersayat pilu memikirkan penderitaan ayah ini. Aku tidak tahu apa yang mesti kukerjakan. Begitu berjalan berhari-hari.
Datanglah malam hari paskah. Kota Granada tenggelam dalam kegemerlapan cahaya lampu yang beraneka warna, seperti Jannah dengan bau minyak wangi kasturinya. Gedung Alhambra gemerlapan memancarkan cahaya lampu warna-warni. Tiang-tiang salib terpancang megah di setiap halaman. Menara-menara nampak gemerlang mempesona oleh kedap-kedipnya lampu, dan terlihat gagah menjulang tinggi mencakar langit.
Di tengah pesta malam yang gemerlapan itu, ayah membangunkanku. Seisi rumah sedang tenggelam tidur nyenyak. Ayah menggiring aku ke kamar pribadinya yang ’suci’ itu. Hatiku berdebar-debar bercampur heran. Tapi aku bisa menahan menutupi perasaan getir itu. Setelah kita berdua masuk, ayah mengunci pintu rapat-rapat. Suasananya sangat gelap tanpa lampu, dan aku tertegun dalam kegelap-gulitaan. Kemudian ayah menyalakan lampu kecil dan kulihat sekeliling kamar itu kosong melompong. Tak ada satu pun benda yang menarik untuk dilihat, kecuali selembar permadani yang terhampar, deretan buku di atas rak dan sebuah pedang bergantung di dinding. Ayah menyuruh aku dengan isyarat supaya aku duduk di permadani. Ia terpaku diam memusatkan pandangannya yang tajam kepadaku. Ketajaman pandangannya menyebabkan suasana kamar yang sunyi itu bertambah angker. Bulu romaku berdiri dan angan-anganku itu terbang merana menembus kesunyian kamar itu tidak karuan kemana arahnya. Aku tidak bisa membayangkan lagi apa yang kurasakan pada saat itu. Tiba-tiba ayahku dengan penuh kasih sayang memegang tanganku. Sambil meremas-remas jari-jari tanganku, terlontar deratan kata-kata dengan suara yang lembut mengesankan:
”Wahai anakku, sekarang engkau sudah menginjak usia dewasa. Sudah 10 tahun lebih umurmu. Engkau sudah mejadi seorang remaja. Sudah saatnya aku mengungkap segala tabir rahasia yang kusimpan selama ini terhadapmu. hanya satu pintaku, sanggupkah engkau merahasiakan rapat-rapat pesanku ini. Engkau tidak boleh membocorkan pesanku ini, berarti engkau ekan melemparkan tubuh ayahmu ke tangan algojo-algojo yang berada di inkuisisi.”
Mendengar sebutan ’Inkuisisi’ itu, bulu romaku berdiri dan sekujur badanku gemetar ketakutan. Aku tahu benar praktek Inkuisisi itu, walau aku masih kecil. Setiap hari aku berangkat ke sekolah, kulihat dengan mata kepalaku sendiri sosok manusia yang bergantung di jalan-jalan raya, disalib, dibakar hidup-hidup. Kaum wanita di gantung rambutnya, di sayat kulitnya sampai berceceran semua isi perut, menyebarkan bau busuk menyengat di sekitar tempat gantungan. Aku terdiam dan tidak kuasa menahan rasa ngeri yang terbayang dalam benakku.
“Mengapa engkau diam tidak menjawab? Bisakah engkau menyimpan rahasia yang hendak aku sampaikan kepadamu?” desak ayah.
Aku menjawab setengah gemetar, ”bisa ayah.”
”Rahasiakan walau terhadap ibumu sendiri dan terhadap sahabatmu yang dekat sekalipun,” tandasnya dengan penuh kesungguhan.
”Baik ayah, aku sanggup,” jawabku meyakinkan.
Ayah terlihat bingar, dan sambil menarik tanganku ia berkata, ”baiklah, dekatkanlah dirimu kemari. Kau pasang telingamu lebar-lebar. Aku tidak berani bicara keras, karena dinding-dinding ini punya telinga dan bisa melaporkan aku ke Inkuisisi,” ayah menandaskan itu sambil menunjuk ke empat penjuru dinding.
Kemudian ia berdiri mengambil sebuah kitab dan disodorkan ke muka mataku. ”Tahukah engkau kitab ini, wahai anakku?” tanyannya.
”Tidak ayah,” jawabku.
”Ini adalah kitabullah,” ia menandaskan. “Kitabullah? maksud ayah kitab suci yang diajarkan Isa anak Tuhan?” selaku dengan terheran-heran.
”Bukan,” jawab ayah dengan gemetar, ”ini adalah Al-Quran yang diturunkan Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa dan Maha Kuat. Tiada Bandingannya, Tiada Beranak dan Tiada pula Diperanakan, Tidak ada sesuatupun setara dengan Dia. Kitab ini diturunkan kepada makhluknya termulia dan terunggul. Nabinya yaitu Muhammad bin Abdillah.”
Kubuka lebar-lebar mataku keheranan karena aku belum faham benar apa yang dimaksud ayahku itu.
”Ini kitabnya Islam,” jelasnya, ”yaitu agama yang haq yang dibawa oleh utusan Allah, Muhammad Rasulullah kepada seluruh umat manusia. Beliau dilahirkan nun jauh di sana, melintas lautan dan beberapa negara. Di padang pasir yang jauh, yang disebut kota Mekkah, di tengah umat yang tadinya terbelakang dan bodoh, yang kemudian mendapat hidayah dari Allah menjadi umat tauhid, dikaruniai Allah persatuan yang kokoh, ilmu pengetahuan yang cemerlang, peradaban yang tinggi, mereka berhasil keluar membuka pintu negara-negara di Timur dan Barat. Dan sampailah mereka ke negeri ini, negeri Spanyol yang rajanya dhalim, pemerintahannya kejam sedang rakyatnya teraniaya dan miskin, dalam kebodohan dan kemunduran. Akhirnya raja yang dhalim itu terbunuh dan runtuhlah pemerintahan yang kejam itu. Setelah Islam berkuasa di Spanyol, menyebarluaslah keadilan sosial, derajat, dan martabat rakyatnya terangkat. Negara pun menjadi kuat. Islam menetap disini 800 tahun lamanya. Selama itu negeri ini menjadi negeri yang paling unggul dan paling megah di dunia, dan kami ini wahai anakku adalah kaum muslimin yang tersisa dan bersembunyi disini.”
Mendengar uraian ayahku yang bersemangat itu, aku ternganga takjub bercampur takut dan juga benci. Aku mencoba hencak berteriak, ”apa ayah, kitab kaum muslimin?”
Ayah segera menutup mulutku sambil berseloroh, ”benar wahai anakku. Rahasia ini lah yang kubungkus rapat bertahun-tahun, untuk kubuka kepadamu apabila engkau sudah menginjak dewasa. Sesungguhnya kitalah pemilik negeri ini. Kitalah yang membangun semua gedung dan bangunan yang kini beralih menjadi milik lawan kita. Kitalah yang mendirikan menara-menata untuk mengumandangkan adzan, dan kini telah diganti dengan suara lonceng gereja. Masjid-masjid yang kita bangun sebagai tempat ibadah sholat yang dipimpin oleh para imam yang membacakan kalam ilahi sekarang diubah menjadi gereja yang dipimpin oleh para yang membaca Injil. Wahai anakku, kita kaum muslimin telah meletakkan pada setiap sudut negeri Spanyol ini kenangan indah yang mengesankan. Setiap jengkal tanahnya pernah dilalui para mujahidin dan syuhada kita. Kitalah yang membangun semua kota, semua jembatan, dan kita pula yang membuka jalan-jalan raya dan semua sarana jalan di negeri ini. Kita pula yang membenahi semua irigasi pertanian, menanam dan mengatur segala tanaman dan taman-tamannya. Dengarkan baik-baik anakku. Sejak 40 tahun lalu raja kita Abu Abdillah yang kasihan itu telah tertipu racun janji muluk dari Raja Spanyol. Raja Abu Abdillah sebagai raja terakhir kaum muslimin di negeri ini tertipu menyerahkan kunci kota Granada dengan perjanjian, bahwa raja yang sekarang ini akan memberi kebebasan kepada umat Islam melakukan ibadahnya, serta menjaga segala pusaka dan kuburan nenek moyang mereka. Raja Abu Abdillah mengasingkan diri ke Maroko dan wafat di sana. Mereka ini telah menjanjikan kita kemerdekaan beragama, keadilan, dan kebebasan. Akan tetapi setelah mereka berkasa, mereka injak-injak semua perjanjian bersama itu. Mereka mendirikan Inkuisisi untuk memaksa kita memeluk agama Kristen, melarang penggunaan bahasa kita, dan mengkristenkan semua anak keturunan kita dengan paksa.”
“Itulah sebabnya kita melakukan ibadah dengan sembunyi, membuat kita sedih karena penghinaan mereka terhadap agama kita dan memurtadkan anak cucu kita. Empat puluh tahun lamanya kita tersayat-sayat siksaan yang berat, sambil menantikan hari kebebasan dari Allah. Kita tidak berputus-asa, karena hal itu dilarang oleh agama kita, sebagai agama yang didasari kekuatan, kesabaran dan perjuagan. Rahasia inilah wahai anakku yang harus kau simpan. Ketahuilah, nasib ayahmu terletak di mulutmu. Jangan engkau menyangka aku takut mati. Atau benci bertemu Tuhanku. Tetapi aku ingin diberi kesempatan hidup sampai batas menyelesaikan tugasku. Mendidik engkau tentang bahasa dan agamamu, demi menyelamatkan engkau dari kekufuran. Sampai sekian dulu anakku, dan pergilah tidur.”
Sejak saat itu, setiap aku melihat gedung Alhambra dan menara-menara kota Granada, mataku terbelalak, tubuhku gemetar dan darahku mendidih. Lahir kerinduan dan kesedihan, benci bercampur cinta. Benci, karena semua itu sudah dikuasai oleh lawan agamaku. Cinta, karena semua itu dirintis, dibangun dan diukir oleh pejuang-pejuang yang telah meninggalkan negeri ini. Semua itu menggoncang-goncang nafsuku. Terkadang tanpa ku sadari aku sudah di hadapan gedung Alhambra, sambil mencemooh dan bergumam, ”Wahai Alhambra, kini kasih sayang ku telah sirna. Lupakah engkau kepada mereka yang membangun dan memperindah engkau?? Begitu juga kepada kawan seperjuanganmu yang rela memperjuangkan hidupnya, mengucurkan darah dan air matanya?? Masa bodokah engkau terhadap masa jaya dan kecintaan mereka kepadamu?? Sudah lupakah engkau terhadap manusia-manusia mulia yang berkeliaran di pelataranmu, suka bersandar di tiang-tiang bangunanmu dan menyayangi engkau?? Engkau dijadikan lambang kejayaan, kebanggaan, dan keindahan. Mereka adalah tokoh-tokoh terhormat, yang tiap ucapannya didengar oleh dunia, dan tiap jasanya disambut hangat sepanjang masa. Sudah jinakkah engkau kepada petualang-petualang jahanam itu?? Setelah sirna gema suara adzan, sudah relakah engkau mendengar suara lonceng dan dipeluk oleh para rahib yang menggantikan para imam??”
Setelah aku puas mencaci maki, Alhambra yang terkutuk itu, sadarlah aku, jangan-jangan gumamku itu terdengar mata-mata inkuisisi. Aku cepat-cepat pulang untuk menghafal bahasa Arab yang diajarkan ayahku. Aku sudah diajar menulis bahasa Arab. Dan ayahku menandaskan, bahwa tulisan ini adalah milik umat Islam. Setelah itu diajarkan aku mengenal Islam, cara berwudhu dan aku mulai ikut sholat di belakang ayah di kamarnya yang sunyi-senyap itu. Bagaimanapun rahasia ituku simpan rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Ibu ku suka menguji aku, ”Diajari apa engkau oleh ayahmu?”
”Aku tidak diajar apa-apa,” jawabku.
”Aku mendengar engkau dididik sesuatu. Jangan engkau merahasiakan itu kepadaku,” desak ibuku. ”Sungguh, ayah tidak mengajar apa-apa,” jawabku bohong. Pada akhirnya ibuku mengetahui juga.
Setelah aku menguasai bahasa Arab secukupnya, memahami al Quran dan dasar-dasar kaidah Islam. Maka ayah memperkenalkan aku dengan salah seorang sahabatnya seperjuangan. Kita bertiga sering mendirikan sholat bersama-sama dan mengkaji al Quran. Sementara itu di luar dinding-dinding rumah tindakan algojo Inkuisisi bertambah ganas terhadap sisa umat Islam di negeri itu. Hampir setiap hari kita menyaksikan minimal tiga puluh orang banyaknya yang disalib, dibakar hidup-hidup secara demonstratif di tempat-tempat terbuka. Jumlahya menanjak sampai ratusan orang. Yang dianiaya dengan kejam, dicabut kukunya hidup-hidup adapula yang dijejeli air lumpur sampi mati. Adapula yang dibakar kakinya, perutnya jari-jari tangannya dipotong-potong, kemudian dibakar dan dimasukkan ke mulut. Ada juga yang dicemeti sampai babak belur badannya, kemudian dikompres dengan air asam garam. Kekejaman yang memuncak, dan peristiwa itu berjalan sangat panjang pada suatu hari ayahku berpesan:
”Wahai anakku, aku merasa bahwa ajalku sudah semakin dekat. Aku rela mati syahid di tangan mereka, dan semoga Allah mengganjarku dengan jannah-Nya. Dengan demikian aku meninggalkan dunia ini sebagai pemenang. Aku bersyukur, bahwa bebanku yang berat melepaskan engkau dari kekufuran telah berhasil dengan baik. Tongkat estafet itu sekarang telah berada di tanganmu. Kalau aku tertimpa musibah, maka taatilah pamanmu ini. Jangan membantah sedikitpun, ikuti dia kemana saja.”
Beberapa hari telah berlalau sejak ayah menyampaikan pesannya itu. Pada suatu malam, paman kawan ayahku itu datang menjemputku untuk melarikan diri ke negeri Maroko. Aku bertanya kepadanya, ”bagaiman ayah dan ibuku?”
Paman bahkan menghardik keras, ”bukankah ayahmu sudah berpesan, supaya engkau mentaati segala perintahku?”
Aku bungkam dan tak berkutik dan mengikutinya. Sesampai ditempat yang aman, ia menepuk pundakku dengan penuh kasih sayang dan berkata, ”tabahkan hatimu, wahai anak sahabatku.. Kedua orang tuamu telah tercatat sebagai mukminin syuhada di hadapan Allah, meskipun harus lewat pintu gerbang Inkuisisi.”
Beberapa puluh tahun kemudian, anak seorang mujahid yang dilarikan ke Maroko itu tumbuh dan dibesarkan di Maroko. Dia kemudian menjadi seorang ulama besar dan pengarang tenar bernama ”SIDI MUHAMMAD BIN ABDURRAFI` AL ANDALUSI”.
Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net  
Dikutip dari buku tulisan DR. Jalal ‘Alam, Syaikh Ali Thanthawy, dan Syaikh Muhammad Namer Alkhatib. Dendam Barat & Yahudi Terhadap Islam. Solo: Pustaka Mantiq

1 komentar:

  1. tak ku sangka ternyata spanyo(kristiani) sekejam itu, membacanya saja badan terasa merinding, apalagi nmelihatnya secara langsung... MENGERIKAN,,
    hmmmm firman Allah..
    'sesungguhnya agama yang paling baik itu adalah agama islam...' dan akan ku yakini itu dan ku bersyukur karna aku termasuk golongan kaum muslimi dan Hamba Allah

    BalasHapus